Senin, 28 Maret 2011

Sushi bukan Suzis

Terinspirasi dari pengalaman makan sushi pertama kali, hasil bujukan salah seorang teman yang sangat menggemari makanan jepang. Respon pertama adalah kaget dengan rasanya. Bukan pertama kalinya saya makan makanan jepang, tapi makan makanan mentah dengan berbagai macam rasa di dalamnya, yes it's my first time. Saya tidak mau kapok untuk mencoba, karena saya tahu ketika orang lain mengatakan makanan itu enak ada alasannya. Walaupun selera kami berbeda, tapi setidaknya saya harus tahu, apa sih yang membuat sushi ini begitu digemari masyarakat Indonesia. Bukan rahasia lagi, kebanyakan restoran makanan jepang di Indonesia, sudah menyesuaikan rasa masakannya dengan lidah Indonesia. Tidak terbayangkan bagaimana rasa sushi di negara aslinya, hehe. Sebelum saya memenuhi janji saya untuk mencoba sushi lagi (but i cannot keep my promise for the raw fish), saya berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang sushi.

Ini nih hasil googling-an sumber wikipedia :

Sushi adalah makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama lauk (neta) berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak. Nasi sushi mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula. Konon kebiasaan mengawetkan ikan dengan menggunakan beras dan cuka berasal dari daerah pegunungan di Asia Tenggara. Istilah sushiberasal dari bentuk tata bahasa kuno yang tidak lagi dipergunakan dalam konteks lain; secara harfiah, "sushi" berarti "itu (berasa) masam".



Sampai tahun 1970-an sushi masih merupakan makanan mewah. Rakyat biasa di Jepang hanya makan sushi untuk merayakan acara-acara khusus, dan terbatas pada sushi pesan-antar. Dalam manga, sering digambarkan pegawai kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk. Oleh-oleh yang dibawa untuk menyogok istri yang menunggu di rumah adalah sushi. Walaupun rumah makan kaitenzushi yang pertama sudah dibuka tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara seluruh anggota keluarga terwujud di tahun 1980-an sejalan dengan makin meluasnya kaitenzushi (restoran sushi di Jepang). Keberhasilan kaitenzushi mendorong perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. chirashizushi atau temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, tamagoyaki dan nori.
  
Ahli sushi pada umumnya adalah pria, dan wanita hampir tidak pernah diberi kesempatan. Di restoran sushi, jenis kelamin laki-laki adalah syarat tidak tertulis untuk menjadi ahli sushi. Tradisi ini berasal dari tradisi kuno Jepang yang menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Walaupun demikian, alasan yang lebih masuk akal adalah suhu tubuh pria yang umumnya lebih rendah dari suhu tubuh wanita. Perubahan fisiologis setiap bulan yang dialami wanita menyebabkan wanita tidak sesuai untuk memegang makanan laut mentah yang rasa dan warnanya mudah dipengaruhi suhu tubuh orang yang memegang.
  
Sushi merupakan makanan dari nasi dan makanan laut mentah yang mudah busuk. Makanan ini dibentuk dengan tangan yang tidak mengenakan sarung tangan. Menempelnya berbagai macam mikroba pada sushi adalah sulit untuk dihindari. Sushi yang dibeli untuk dibawa pulang di musim panas atau di negara beriklim tropis harus segera dimakan agar tidak menyebabkan sakit perut. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, memegang-megang makanan dengan tangan telanjang dianggap tidak higienis. Pembuat sushi diharuskan memakai sarung tangan dari karet atau plastik. Sebaliknya, orang Jepang kehilangan selera bila melihat pembuat sushi sedang membuat sushi sambil mengenakan sarung tangan. Walaupun demikian, sushi di toko-toko swalayan di Jepang umumnya dibuat dengan memakai sarung tangan.

Terlepas dari pro dan kontranya memakan makanan (ikan) mentah yang berpengaruh pada kesehatan. Menurut saya memakan sushi ini sudah seperti budaya turun temurun dalam masyarakat Jepang. Kalau di Indonesia mungkin seperti hidangan opor dan ketupat saat hari raya, atau nasi kuning untuk selamatan. Semua itu lebih pada nilai dan esensi yang dihasilkan, dibandingkan rasa dan higienitas, karena saya percaya beberapa makanan khas Indonesia yang melalui beberapa kali proses memasak (contoh : gulai) juga tidak baik untuk kesehatan akibat dari lemak jenuh yang dihasilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar