Penulis : Diane Setterfield
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Saat pertama kali membaca judulnya, ada dua hal yang terlintas adalam pikiran saya. Yang pertama kata dongeng membawa saya pada cerita putri dan pangeran zaman dahulu dengan kastil tuanya yang megah dan mungkin ada nenek sihir atau monster jahat sebagai tokoh antagonis semacam snow white, sleeping beauty, beauty and the beast. Hal kedua yang terlintas di benak saya adalah penggunaan angka tiga belas, ah mungkin ini semacam dongeng yang menyeramkan, misterius, ketika kekuatan gelap menguasai hampir seluruh permukaan bumi dan hal-hal fantastis yang dapat dilakukan manusia biasa. Kemudian begitu saya membaca resensi buku di cover belakang, ternyata dapat saya simpulkan bahwa imajinasi saya terlalu berlebihan dalam menginterpretasikan sebuah judul, hahaha, but it’s ok, saya menganggapnya sebagai ekspektasi dari seorang pembaca. Oya catatan, I love its cover design.
Maka tersebutlah seorang tokoh bernama Margaret Lea, seorang penulis biography muda yang mendapatkan permintaan dari seseorang yang amat terkenal untuk menuliskan biographynya. Disinilah muncul Vida Winter, seorang penulis dongeng ternama yang sudah menerbitkan puluhan cerita dongeng dalam bentuk buku. Hingga pada suatu ketika Vida Winter merasa dirinya sudah sangat renta dan lelah dan memutuskan untuk mengabadikan kisah hidupnya dalam sebuah buku, buku terakhir dengan kisah yang diciptakan olehnya namun bukan untuk dituliskan olehnya, sebuah biography untuk dikenang oleh para penggemarnya.
Saya berhenti disini tepatnya pada bab satu buku untuk kemudian berpikir, oke, lalu dimana letak dongeng ketiga belasnya, rasanya saya kehilangan orientasi cerita pada saat membaca novel ini. Siapa pemeran utamanya dan judul ini menunjuk pada kisah siapa, bisa dibilang melelahkan membaca novel ini, karena seperti membaca kehidupan dua orang sekaligus. Apakah Margaret Lea atau Vida Winter yang menjadi tokoh utama. Pada akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan membaca kelanjutan cerita dongeng ketiga belas ini untuk mencari tahu.
Dongeng ketiga belas saya temukan pada bab-bab selanjutnya, ketika Margaret Lea mulai mencari buku-buku karangan Vida Winter, dan dia menemukan buku ke-empat yang ditulis oleh Vida Winter yang berjudul Ketiga Belas Dongeng Perubahan dan Keputusasan. Namun anehnya dalam buku tersebut hanya berisi dua belas dongeng, aha … , dimana dongeng ketiga belasnya. Dalam edisi cetakan berikutnya buku tersebut direvisi menjadi Dongeng-Dongeng Perubahan dan Keputusasaan.Ternyata misteri tersebut mulai nampak dalam cerita yang berat dan melelahkan ini. Begitu juga dengan Margaret Lea yangmulai merasa tertarik untuk mencari tahu tentang kisah hidup Vida Winter. Maka mulailah kisah hidup Vida Winter bergulir menjadi beberapa tokoh dalam buku ini, yang diceritakan kembali oleh Vida Winter dan dituliskan oleh Margaret Lea, ah sungguh membingungkan …
Awalnya ini bukan kisah hidup Vida Winter, tapi kisah hidup mereka para anggota keluarga Angelfield, Isabelle dan Charlie Angelfield, dua orang anak piatu yang kehilangan kasih sayang Ibu sejak masik belia. Dan kemudian berlanjut menjadi kisah Adeline dan Emmeline March dua orang anak kembar dari Isabelle Angelfield dengan seorang pemuda desa setempat, yang lagi-lagi bernasib sama dengan ibu mereka menjadi yatim piatu pada usia anak-anak. Hingga kisah itu menjadi kisah Vida Winter setelah penghuni rumah besar Angelfield satu demi satu telah tiada dan kebakaran besar merobohkan rumah besar Angelfield.
Dulu dia (Vida Winter) dipanggil dengan nama Adeline March, salah satu dari kembar Angelfield, satu-satunya yang terlihat normal diantara para anggota keluarga Angelfield, walaupun para penggemarnya di seluruh dunia tidak pernah mengetahui kenyataan itu. Hanya pengacaranya yang tahu dan beberapa orang terdekatnya dan tentu saja Margaret Lea penulis biographynya. Namun benarkah bahwa itu adalah fakta sebenarnya, mengingat bahwa si penulis Vida Winter sangat pandai dalam membentuk suatu cerita dan hal tersebut telah diakuinya sendiri. Margaret Lea seorang penulis biography yang berpegang pada fakta melebur dalam cerita-cerita Vida Winter, berusaha mencari kebenaran, menemukan fakta-fakta yang tersembunyi dalam cerita-cerita yang menghipnotis, dan menyusuri kembali tempat-tempat masa lalu, hingga sebuah kebenaran terungkap di hadapannya. Tentang mereka yang dianggap sudah meninggal, tentang mereka yang dianggap tak pernah ada, dan tentang jati diri tulang belulang yang terkubur di bawah reruntuhan rumah Angelfield.
Sampai disini pertanyaan yang sama seperti pertama kali membaca buku ini kembali berputar dalam kepala saya, lalu dimana dongeng ketiga belasnya … dongeng yang seharusnya ada di tempat dia seharusnya berada, namun tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar